Jumat, 18 November 2011

BUTTON HOLE


BAB I
PENDAHULUAN

Akses darah yang dianjurkan pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin adalah akses permanen.  Salah satu bentuk akses permanen yang umum digunakan adalah AV fistula.  Agar AV fistula ini mampu berfungsi secara optimal, harus dijaga keutuhannya.  Salah satu bentuk pemeliharaan akses ini adalah melalui teknik penusukkan yang tepat sehingga efek samping dari teknik penusukkan pada AV fistula yang akan mengganggu fungsi hantaran darah tidak terjadi.  Efek samping yang mungkin timbul dari teknik penusukkan adalah stenosis, aneurisma, dilatasi, hematoma, ataupun infeksi. 
Penusukkan jarum kanul (kanulasi) adalah prosedur invasive yang tidak nyaman yang harus dilalui pasien hemodialisis.  Ini menjadi rutinitas tidak menyenangkan dan membuat pasien segan untuk menjalani hemodialisis rutin.  Atas dasar ini, diperlukan suatu metode penusukkan yang tidak/kurang menimbulkan nyeri.
Jumlah penderita gagal ginjal kronis mempunyai kecenderungan semakin meningkat,  jumlah pasien waiting list selalu ada walau angka morbiditas positif.  Tidak semua pasien dengan penyakit ginjal kronis mendapat pelayanan cuci darah rutin.  Untuk menghadapi masalah ini perlu strategi khusus, diantaranya dengan meningkatkan kinerja berupa peningkatan kecepatan dalam melaksanakan prosedur penusukkan secara aman dan nyaman.




BAB  II
Teknik Penusukkan AVF Dengan Metode Button Hole

Untuk mendapatkan keberhasilan dialisis diperlukan akses darah yang adekuat sehingga didapatkan aliran darah yang optimal sesuai dengan keperluan.  Akses permanen harus segera dibuat pada pasien untuk mendapatkan akses yang baik.  Untuk mendapatkannya, diperlukan teknik penusukkan yang tepat sehingga keutuhan akses dapat dijaga.  Secara keseluruhan, kekuatan fistula dan graft tergantung dari kualitas pembuluh darah, teknik pembedahannya, dan metoda penggunaan akses. Kebiasaan di mana jarum ditusukkan berpengaruh secara jangka panjang terhadap keutuhan dan kekuatan akses, khususnya AV fistula. Anjuran awal adalah dengan cara mengubah lokasi penusukan dalam tiap dialisis untuk memungkinkan penyembuhan yang baik pada luka penusukan dan menghindari komplikasi seperti hematoma pada lokasi penusukkan, dilatasi, stenosis, infeksi dan pseudoaneurisma.  Sebaliknya, beberapa data menunjukkan bahwa penusukkan jarum dialisis pada titik yang persis sama untuk dialisis yang berurutan menunjukkan komplikasi yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan lokasi yang berbeda pada penusukkan jarum saat dialisis.

I.                   Jenis Teknik Penusukkan
            Teknik Penusukkan Area
 Jika penusukkan diulang pada area terbatas (teknik penusukkan area) dilatasi aneurisma terbentuk pada area ini dan stenosis terbentuk pula pada daerah sekitarnya.  Lesi stenotik dan aneurismatik cenderung progresif karena tekanan dan kecepatan penyebaran sesuai dengan hukum Bernoulli hidrodinamik. 
            Teknik Penusukkan Tangga/ladder
Teknik lain dengan menggunakan penusukkan yang disebar secara sama sepanjang ukuran fistula (teknik penusukkan tangga tali).  Teknik tersebut menyebabkan dilatasi kecil sepanjang nya namun tanpa dilatasi aneurismatik. 
            Teknik Lubang Kancing/Buttton Hole
Teknik yang paling baik dengan cara penusukkan berulang pada lokasi yang sama (metoda lokasi menetap = teknik penusukan lobang kancing) karena teknik ini tidak menyebabkan dilatasi dan stenosis.

II.                Definisi Teknik Penusukkan Button Hole
Adalah suatu cara penusukkan AV fistula tepat satu titik pada jalur yang menetap. Inisiasi menggunakan jarum yang tajam dan setelah terbentuk jalur menetap digunakan jarum yang tumpul.  Secara sederhana, kita bayangkan lubang kancing, kancing yang bersangkutan akan tetap memasuki lubang yang sama dan menetap.

III.             Prosedur Pelaksanaan Metode Button Hole
            Penelitian awal Zbylut J. Twardowski, MD
1)      Penempatan jarum selama periode awal.  Setelah beberapa minggu fistula matang, fistula ditusuk oleh penusuk yang sama, berpengalaman, menggunakan jarum yang tajam, sampai didapatkan lokasi penusukan yang paling baik.  Hanya setelah didapatkan tempat penusukan yang baik, penusuk yang kurang berpengalaman diperbolehkan melakukan penusukkan di lokasi ini.  Penempatan jarum oleh orang yang sama dan berpengalaman, selama periode awal, merupakan hal yang krusial untuk keberhasilan. Tiap orang mempunyai teknik yang berbeda dalam menggunakan arah dan sudut kemiringan jarum yang sama serta kedalaman penusukan yang sama.  Hasil yang baik pada pasien yang menjalani hemodialisis di rumah erat berhubungan dengan “praktek penusuk manunggal”.
Berikut ini  illustrasi langkah-langkah penusukkan pada tahap awal dengan menggunakan jarum tajam.
Gambar 1 illustrasi kanulasi untuk mendapatkan lokasi menetap pada periode awal penusukkan/inisiasi button hole pada avs baru yang sudah matang

  • Lakukan pengkajian fisik lengkap pada AV fistula dan catat temuan-temuannya
  • Pilih lokasi kanulasi dengan cermat.  Pertimbangkan area yang lurus, arah jarum dan kemampuan pasien untuk menusuk sendiri.  Lokasi harus dipilih pada area tanpa aneurisma, dan dengan minimal dua inci jarak antara dua ujung jarum
  • Bersihkan kotoran pada lokasi kanulasi
  • Desinfeksi lokasi kanulasi sesuai prosedur setempat
  • Dengan menggunakan jarum AV fistula yang tajam, pegang sayap jarum dan buka tutup jarum.  Atur kanul jarum dengan bevel menghadap ke atas, ukur lokasi kanulasi, dan tarik/regangkan kulit.
  • Tusukan jarum kanul pada sudut 25ยบ.  Penusukkan mandiri memerlukan sudut yang sempit.  Ini penting untuk mengkanulasi pada lokasi yang menetap pada lokasi yang tepat sama, dengan menggunakan sudut penusukkan yang sama serta kedalaman yang sama tiap kali penusukkan
    • ‘ini memerlukan penusuk tunggal untuk melakukan semua kanulasi pada pasien ini sampai terbentuk lokasi yang baik’
  • Adanya sekilas aliran darah pada pangkal kanul menunjukkan jarum pada akses.  Rendahkan sudut penusukkan.  Lanjutkan untuk penusukkan jarum pada AV fistula sampai dengan terposisi dengan baik di dalam pembuluh
  • Fiksasi dengan plester dan lanjutkan penanganan HD sesuai prosedur
  • Tindakan ini memakan waktu 6X penusukkan dengan jarum tajam untuk menciptakan terowongan dengan jaringan parut pada lokasi yang bersangkutan.  Setelah terowongan dengan jaringan parut terbentuk jarum tumpul dapat digunakan

2)      Jarum.  Setelah melewati periode awal, jarum yang digunakan untuk metoda lubang kancing mempunyai permukaan dan ujung yang tumpul.  Jarum dengan ujung yang tumpul cenderung akan menempati jalur yang telah kita dapatkan pada periode awal penusukkan; jarum yang tajam cenderung akan memotong jaringan yang berdekatan dengan jalur tersebut, memperbesar lubang, dan menyebabkan perdarahan di sepanjang jarum.  Hal yang sangat penting bahwa jarum harus melalui/menempati jalur/terowongan yang telah didapatkan dan tidak memotong jaringan sekitarnya.  Jarum yang memberikan hasil terbaik bila tidak bersilikon dan tidak mempunyai permukaan yang halus.  Rembesan darah berhubungan dengan penggunaan jarum yang bersilikon dan berpermukaan halus.  Berikut ini salah satu bentuk jarum tumpul yang diproduksi NIPRO:
Gambar 2 Salah jenis jarum tumpul dari NIPRO yang digunakan untuk metode BUTTON HOLE

Berikut ini illustrasi tahap-tahap penusukkan pada periode lanjut, di mana jalur parut sudah terbentuk dan mulai digunakan jarum tumpul:
Gambar 3 illustrasi kanulasi pada lokasi menetap yang sudah terbentuk
·         Lakukan pengkajian lengkap pada AV fistula dan catat temuan-temuannya
·         Bersihkan kotoran di sekitar lokasi
·         Desinfeksi lokasi kanulasi sesuai prosedur
·         Dengan menggunakan jarum tumpul, pegang sayapnya, dan buka tutupnya.  Atur jarum kanul dengan bevel menghadap ke atas dan regangkan kulit ke atas
·         Dengan hati-hati tusukkan jarum pada lokasi yang sudah terbentuk, tusukkan sepanjang jalur jaringan parut.  Jika terasa tahanan ringan sampai dengan sedang pada saat penusukkan jarum, putar jarum sambil didorong
·         Sekilas darah akan terlihat dan ini menunjukkan jarum sudah dalam akses.  Turunkan sudut penusukkan, teruskan penusukkan sampai didapat posisi yang sesuai pada pembuluh
·         Fiksasi dengan plester dan lanjutkan dengan penanganan dialysis sesuai prosedur
·         Sudut penusukkan, kedalaman harus konsisten pada setiap kanulasi

3)      Arah penusukkan.  Kedua jarum ditusukkan dalam arah antegrade yang memfasilitasi proses homeostasis setelah dialisis dan menurunkan kemungkinan pembentukan hematoma.  Arah jarum antegrade tidak mencetuskan resirkulasi.  Resirkulasi mungkin terjadi saat aliran yang melalui dializer lebih besar dibanding  aliran yang melalui fistula.
4)      Desinfeksi.  Sebelum penusukkan jarum, area penusukkan harus dibersihkan dari kotoran.  Lalu area harus didisinfeksi lagi dan jarum hemodialisis ditusukkan.

HAL YANG MENYESATKAN PADA PASIEN DIABETES DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS

Penyakit diabetes berarti mengalami defesiensi insulin sehingga kadar gula darah meningkat.  Penyakit ini adalah sistemik sehingga bila tidak terkendali akan menyerang sistem-sistem yang ada di tubuh kita.  Tahap awal yang diserang adalah sistem kardiovaskuler kemudian sistem persyarafan lalu sistem perkemihan yaitu ginjal.  Saat ginjal mengalami gangguan, akan semakin diperberat oleh kondisi jantung dan pembuluh yang menurun, dan neuropati.  Saat ini, penyebab utama seseorang sampai harus dicuci darah adalah diabetes.
Adakalanya atau bahkan sering terjadi pasien dengan diabetes mengalami keengganan untuk menjalani penanganan/pengobatan yang seharusnya dia jalani.  Dia meninggalkan obat-obatan yang seharusnya dia konsumsi, meninggalkan aktivitas, tidak mengikuti anjuran diet diabetes, dan mengikuti jalur alternatif yang berseberangan dengan medis.  Namun,  saat dia mengecek kadar gula darahnya ternyata normal/tidak lagi tinggi.
Saya sebagai tenaga kesehatan merasa khawatir dengan kondisi tersebut karena itu bukan awal dari suatu kabar gembira.  Itu adalah pertanda ginjal sudah mengalami gangguan.  Sebentar lagi pasien tersebut harus menjalani cuci darah. Ingat, salah satu fungsi ginjal adalah mendegradasi insulin.  Setelah insulin diubah, dia dieksresikan oleh ginjal.  Saat pasien gagal ginjal kemampuan ini berkurang atau hilang sehingga kadar insulin darah meningkat dan kadar gula darah menjadi tidak tinggi.

DRY WEIGHT ASSESMENT

Keseimbangan cairan merupakan komponen integral dalam penanganan hemodialisis (HD) untuk mencegah under/overhidrasi, dan ini berpengaruh secara bermakna terhadap angka mortalitas intradialitik dan komplikasi jangka panjang pada system kardiovaskuler.  Penarikan cairan dilakukan melalui ultrafiltrasi untuk mendapatkan berat badan kering. Sayangnya tidak terdapat standar pengukuran berat badan kering sehingga konsekuensinya sangat sulit menentukan adekuasi penarikan cairan bagi pasien secara individu.  Terlebih lagi, terdapat kekurangan informasi tentang pengaruh ultrafiltrasi terhadap perpindahan cairan pada kompartemen ekstra dan intraselular. Terbukti bahwa pemahaman yang lebih baik tentang status cairan interdialitik dan perubahan cairan selama HD adalah diperlukan untuk mengembangkan cara pengukuran yang tepat pada keseimbangan cairan tubuh.
Penarikan cairan untuk memperoleh keseimbangan cairan adalah komponen penting dalam penanganan hemodialisis untuk penyakit ginjal tahap akhir, di mana under/overhidrasi berkaitan erat dengan konsekuensi buruk.  Selain adekuasi penarikan solut, sampai saat ini tidak terdapat adekuasi penarikan cairan. Mayoritas penanganan HD meresepkan penarikan cairan yang ditargetkan kepada berat badan kering.  Di kebanyakan unit dialysis, berat badan kering secara klinis ditentukan, dan biasanya mencerminkan berat badan terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien tanpa gejala hipotensi intradialitik dan tanpa kelebihan cairan.  Metode trial and error ini tanpa melibatkan status nutrisi dan massa tubuh.  Sebagai konsekuensinya, sulit menentukan apakah pasien under/overhidrasi. Berat badan digunakan untuk menentukan besaran ultrafiltrasi pada tiap penanganan hemodialisis. Komplikasi intradialitik dipengaruhi oleh keseimbangan antara ultrafiltrasi rate dan pengisian kembali plasma.  Ultrafiltrasi rate dalam kapasitas refilling plasma yang berlebih menyebabkan hipotensi akibat dialisis.  Metode yang lebih baik untuk menentukan perubahan volume cairan selama hemodialisis diperlukan untuk mencapai tujuan penarikan cairan dan mengembangkan strategi penanganan hemodialisis yang lebih aman.
Apa Yang Dimaksud Berat Badan Kering?
Resep hemodialisis standar menargetkan penarikan cairan sesuai berat badan kering.  Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan terendah pasien yang dapat ditoleransi tanpa gejala hipotensi. Karena berat badan kering fisiologis merupakan berat badan yang diperoleh dari fungsi ginjal, permeabilitas vaskuler, konsentrasi protein plasma, regulasi volume tubuh yang normal, maka berat badan kering di HD secara teoritis lebih rendah dibanding fisiologis untuk memprofilaksi peningkatan berat badan interdialitik.  Di kebanyakan instansi, berat badan kering diestimasi melalui trial and error, dan tingkat ketepatannya dicerminkan dalam perkembangan gejala-gejala intradialitik, kelebihan volume kronis dengan pengendalian tekanan darah yang buruk.  Pengkajian status volume cairan tubuh yang akurat memerlukan pemahaman tiga faktor: (1) kapasitas kompartemen tubuh (cairan ekstraseluler dan intraseluler); (2) jumlah cairan pada tiap kompartemen; (3) kandungan solut (mis. sodium), yang akan mempengaruhi perpindahan cairan antar kompartemen, peningkatan berat badan interdialitik, dan keberhasilan penarikan cairan selama HD.  Ukuran kompartemen, jumlah cairan, kandungan solut dapat secara mandiri diestimasi dengan teknik-teknik tertentu, namun ketiga hal tersebut harus dipertimbangkan dalam menentukan berat badan kering.

Masalah Yang Berhubungan Dengan Pengkajian Berat Badan Kering Yang Tidak Akurat
Pada inisiasi dialisis, kebanyakan pasien mengalami fase katabolik selama beberapa bulan akibat penyakit kronis.  Pada saat yang sama, eksresi garam dan air yang adekuat telah menurun akibat kerusakan nefron yang progresif.  Gangguan ini mengakibatkan pengerutan sel masa tubuh dan perluasan kompartemen ekstraseluler.  Saat dialisis memperbaiki keadaan uremia, suatu peningkatan masa tubuh dapat tak terdeteksi akibat penurunan volume ekstraseluler.  Penurunan masa tubuh dan peningkatan cairan ekstraseluler dapat pula tidak diketahui selama sakit akut.  Fakta-fakta ini yang menyebabkan peningkatan berat badan interdialitik yang besar, tidak tercapainya berat badan kering, dan dapat mengalami hipotensi intradialitik akibat faktor nonvolume.  Sebaliknya, mereka dapat mengalami normotensi, nonedema, tanpa tanda-tanda kelebihan cairan walau berada di atas berat badan keringnya.  Pemantauan tekanan darah yang terus-menerus merupakan satu-satunya cara untuk menentukan silent hipervolume yang bisa menyebabkan hipertensi paling lambat 12 jam setelah meninggalkan unit hemodialisis.  Penyesuaian yang tepat pada berat badan kering tidak selalu sewaktu munculnya komplikasi under/over hidrasi dan saat sakit.
Overestimasi Berat Badan Kering
Hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan paling sedikit 80% semua hipertensi pada pasien dialisis adalah akibat hipervolemia kronis.
Hipertensi dan tingginya kematian pada pasien hemodialisis. Menurut U.S. Renal Data System, penyakit kardiovaskuler dan stroke merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pasien dialisis, yang berkaitan erat dengan kondisi kelebihan volume. Markernya meliputi hipertensi, disfungsi ventrikel dan hipertrofi ventrikel.
Disfungsi jantung. Meskipun sulit memisahkan antara penyebab dan pengaruh saat membicarakan variasi gangguan jantung pada pasien hemodialisis, ini terlihat bahwa suatu berat badan yang berlebih merupakan faktor resiko disfungsi kardiak dan dapat menyebabkan kematian tiba-tiba.  Penting sekali mengenali faktor resiko LVH yaitu peningkatan usia, diabetes, anemia, hiperparatiroid; dan untuk dilatasi LV adalah anemia, hipoalbuminemia, penyakit jantung iskemia.
Hilangnya perubahan masa tubuh. Terdapat pasien yang tercapai berat badan keringnya, namun terjadi perubahan masa tubuh akibat resep dialisis yang tidak adekuat, pelaksanaan dialisis yang tidak adekuat, penyakit penyerta, depresi dan penyebab lain.  Perubahan ini tak tercermin dari hasil albumin atau urea kinetik, dan gagal untuk menyesuaikan berat badan kering yang mengakibatkan proporsi cairan ekstrasel yang lebih besar.
Estimasi yang terlalu rendah pada berat badan kering. Hal ini harus segera teridentifikasi karena konsekuensinya yang bersifat segera terhadap angka kesakitan intradialitik.  Hal ini biasanya timbul saat terdapat kegagalan melakukan ultrafiltrasi pada peningkatan berat badan kering. Pasien yang sebelumnya stabil menjadi sering mengalami hipotensi selama dialisis, namun perubahan ultrafiltrasi seringkali tertunda akibat keengganan petugas mengevaluasi berat badan kering atau usaha menyelidiki penyebab hipotensi.  Kondisi seperti ini menyebabkan pasien sering mengeluh, tidak puas dengan resep dialisis, menarik diri dari dialisis, telat/tidak hadir saat dialisis, sering berhenti saat cuci darah sebelum waktunya, yang kesemuanya akan mengakibatkan penurunan penarikan solut. Penarikan solut yang tidak adekuat akan menyebabkan penurunan selera makan, asupan yang buruk yang pada akhirnya mengakibatkan status nutrisi buruk dan berdampak buruk pula terhadap hasil/tujuan dialsis.  Di samping itu, tanpa mengetahui berat badan kering pasien, seseorang akan cenderung mengalami episode hipotensi berulang akibat iskemia miokard, efusi perikardial, atau gangguan lain melalui peningkatan berat badan kering, sehingga menyesatka diagnosa dari keadaan yang lebih serius.
Pengukuran Berat Badan Kering
Telah dikemukakan di atas bahwa pengkajian klinis berat badan kering adalah kasar dan seringkali tidak akurat. Saat ini telah terdapat beberapa teknik berbeda yang digunakan untuk mendapatkan metode yang lebih standar dalam menentukan berat badan kering.  Meskipun begitu, tidak terdapat metode tunggal yang muncul sebagai gold standar, karena tidak ada definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud berat kering. Berikut ini beberapa metode yang telah dikembangkan beserta penggunaannya.
Penanda biokimia
Atrial Natriuretic Peptide. ANP adalah hormon peptida yang disintesis, disimpan, dan dilepas pada jaringan atrium dalam menanggapi perubahan tekanan transmural atrium. Hormon sintesis mengikuti jalur pembelahan biasa sebagai prepro-, peptida pro-, dan biologis aktif 28 asam amino peptida. Hal ini dengan cepat terdegradasi, terutama oleh ginjal, tetapi juga oleh organ lain, dengan waktu paruh serum 2 sampai 4 menit. Efek akhir organnya dan peran dalam mempertahankan homeostasis garam dan air, yang juga terdapat di tempat lain, serta waktu paruh yang pendek dan minimal dikeluarkan oleh hemodialisis, hal inilah yang memungkinkan dalam penentuan status cairan di pasien hemodialisis. Plasma ANP sensitif untuk mendeteksi pasien overhydrasi, tapi tidak spesifik. Nilainya sering tetap meningkat pada berat badan kering dan karenanya tidak sensitif dalam mendeteksi pasien underhydrasi. Nilai ANP rendah untuk mendeteksi underhydrasi tidak diketahui.

Cyclic Guanidine Monophosphate (cGMP)
cGMP dihasilkan ketika ANP mengaktifkan ikatan membran siklase guanylate, dan karenanya diperkirakan menjadi indikator status volume pada pasien dialisis. Karena cGMP lebih stabil dalam serum pada suhu kamar dari ANP, cGMP akan berpotensi menjadi penanda lebih baik dari ANP untuk penilaian rutin status cairan. Seperti halnya dengan ANP, makna dari level rendah tidak diketahui, dan tingkat cGMP dipengaruhi oleh disfungsi jantung atau katup, sehingga membatasi pemakaian klinisnya.
Diameter Vena Kava
Karena pemeriksaan echocardiografik diameter vena kava inferior (VCD) adalah upaya yang sederhana, cepat, dan noninvasif, untuk mengukur karakteristik dimensi dan hubungan dengan volume darah sentral. Pengukuran supinasi ini menunjukkan bahwa diameter vena kava diambil selama ekspirasi dan inspirasi menunjukkan penurunan dalam diameter berkorelasi erat dengan tekanan vena sentral. Ando dkk. (1985) adalah yang pertama untuk mengukur perubahan VCD selama hemodialisis. Pada tahun 1989, Cheriex et al. berusaha untuk menggunakan teknik ini untuk menilai berat kering pada pasien hemodialisis, menunjukkan bahwa pengukuran diameter kava inferior postdialysis yang diambil secara subdiaphragma berkorelasi dengan tekanan atrium kanan dan sirkulasi volume darah.
Analisis Dan Spektroskop Bioimpedansi
Analisis Bioimpedansi Frekuensi Tunggal Atau Ganda. Impedansi tubuh untuk arus bolak-balik berkorelasi dengan perubahan volume darah. Pengukuran ini didasarkan pada prinsip bahwa impedansi listrik dari silinder berbanding lurus dengan panjang dan berbanding terbalik dengan luas penampang dikalikan dengan resistivitas yang spesifik. Analisis bioimpedansi tunggal menentukan total cairan tubuh dan analisis bioimpedansi ganda menentukan cairan tubuh intraseluler dan ekstraseluler.
Spektroskop Bioimpedansi, Pendekatan Multi frekuensi. Analisa multi frekuensi dikembangkan dari kelebihan teori dielektrik tentang konduksi listrik yang melalui bagian tubuh yang tercampur atau teremulsi. Dalam teori ini, konduksi arus yang melalui ruang intraselular dimodelkan sebagai aliran melalui banyak sirkuit paralel yang berbeda yang terdiri dari kapasitansi dan resistensi secara seri. Sementara aliran paralel melalui ruang ekstraseluler dibatasi hanya oleh resistensi untuk mengalir melalui ion dan air. Hasilnya adalah bahwa pada frekuensi rendah, arus tidak bisa menjembatani membran sel (kapasitor) dan hanya akan mengalir melalui ruang ekstraseluler, sementara pada frekuensi yang semakin meningkat tinggi kapasitor membran sel akan menawarkan reaktansi yang semakin berkurang. Saat reaktansi mendekati nol, impedansi menjadi resistansi sepenuhnya, dan resistensi pada frekuensi ini mencerminkan resistensi cairan tubuh total.
Bioimpedansi Dan Berat Badan Kering: Penggunaan Klinis. Analisis Bioimpedansi telah terbukti menjadi alat yang berguna dalam penilaian berat kering pada pasien hemodialisis. Kami telah menunjukkan bahwa BIS pengukuran selama perubahan volume suara lagu HD ECF dan menunjukkan korelasi yang sangat baik untuk ultrafiltrasi dihapus dan perubahan berat badan.  Pengukuran bioimpedansi selama hemodialisis menelusuri perubahan volume ekstraseluler dan menunjukkan korelasi yang kuat terhadap penarikan UF dan perubahan berat badan. Pengukuran impedansi frekuensi tinggi sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu dan ion yang terjadi selama hemodialisis. Hasilnya kemungkinan terlalu tinggi pada volume cairan intraseluler setelah hemodialisis. Meskipun terbatas, bioimpedance adalah alat yang nyaman, aman, dan non-invasif, tidak seperti penanda biokimia dan VCD (yang menunjukkan volume intravaskular), serta dapat menentukan status cairan interstitial dan intraseluler.
Monitoring Volume Darah
Ultrafiltrasi selama dialisis menarik cairan dari intravaskuler dan megakibatkan penurunan yang progresif pada volume cairan tubuh. Meskipun begitu, penurunan ini dibatasi oleh refilling dari ruang interstisial. Kapasitas refilling plasma dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk kondisi hidrasi jaringan. Selama refilling plasma dapat mengimbangi ultrafiltrasi, hipovolemia dapat dihindari dan komplikasi intradialitik berkurang. Peningkatan hematokrit dan protein berbanding terbalik dengan perubahan BV. Jadi, ini memungkinkan untuk menilai perubahan BV secara real time selama penanganan hemodialisis. Sebagai teknik terisolasi untuk penentuan berat kering, bagaimanapun, pengukuran BV memiliki keterbatasan. Kesulitan yang muncul dalam standardisasi teknik ini adalah pasien yang berbeda dan kondisi penyakit yang mempengaruhi tingkat pengisian vaskuler dari kompartemen interstisial.
Kombinasi Dan Validasi Silang Pada Beberapa Teknik
Karena teknik-teknik di atas mempunyai keterbatasan, dilakukan validasi silang atau kombinasi dari beberapa teknik untuk menentukan perpindahan cairan dan berat badan kering.
Menentukan perpindahan cairan. Saat perubahan BV sebanding dengan keseimbangan antara tingkat ultrafiltrasi dan pengisian kembali plasma, dalam ketiadaan ultrafiltrasi adalah mungkin untuk menentukan tingkat pengisian plasma dan BV absolut. Jika pengukuran BIS dikombinasikan dengan monitoring BV selama dialisis, perubahan dalam ECF dan kompartemen intravaskuler dapat ditentukan, memungkinkan perkiraan refilling plasma.
Berat Badan Kering Dan Adekuasi Penarikan Cairan. Manajemen kontemporer cairan pada pasien dialisis sebagian besar tergantung pada estimasi klinis berat kering. Penilaian klinis berat kering akan mengarah kepada over/under estimasi berat kering. Overestimasi berat kering menyebabkan hipertensi, stroke, dan gagal jantung kongestif, yang merupakan penyebab utama kematian dialisis. Underestimasi akan mengarah ke episode hipotensi persisten, mengasingkan pasien dialisis dari pengasuh mereka, dan mempengaruhi pelaksanaan dialisis yang diresepkan. Selain itu, fokus saat ini pada Kt/V sebagai indeks untuk adekuasi dialisis dalam hal pengeluaran solut dan mengabaikan kontribusi volume sebagai faktor independen yang mempengaruhi hasil. Sayangnya, meskipun mengenali ini kita tidak mencoba untuk memperbaiki masalah ini dalam cara yang sistematis. Pendekatan yang mungkin untuk masalah ini adalah pengembangan indeks kecukupan untuk manajemen cairan.
Peritoneal dialisis merupakan model yang ideal untuk pencapaian berat kering, karena ultrafiltrasi peritoneal berlangsung lambat secara terus-menerus memungkinkan berat badan kering fisiologis atau mungkin subphysiologis mengendalikan BP. Tujuan penarikan cairan di HD adalah untuk mencapai berat yang lebih rendah dari berat badan kering fisiologis segera pascadialisis, memungkinkan berat badan kering fisiologis rata-rata interdialitik. Hal ini akan sangat berlaku untuk pasien tanpa kenaikan besar berat badan interdialytic (<2 L), gagal jantung kongestif, gangguan ventrikel kiri, neuropati diabetik otonom, hipoalbuminemia berat, atau kondisi lain yang menyebabkan hipotensi pada dialisis. Di sisi lain, berat kering fisiologis mungkin merupakan sasaran yang tepat untuk pasien dengan peningkatan berat badan interdialitik persisten yang besar atau kondisi di atas yang mempengaruhi hipotensi. Selanjutnya, penggunaan ultrafiltrasi nonlinier dapat membantu pencapaian berat kering pada pasien ini. Karena kompleksitas ini, mudah untuk mengenali bahwa alat yang digunakan untuk memperkirakan berat kering diperlukan. Namun, teknik untuk masing-masing individu memiliki keterbatasan atau secara inheren tidak cukup untuk digunakan tunggal dalam penilaian berat kering. Oleh karena itu, beberapa kombinasi dari alat ini perlu digunakan untuk mencapai tujuan ini. Selanjutnya, penilaian berat kering lebih lanjut dikelompokkan menjadi dua kategori utama: (1) pengukuran berat kering interdialitik statis dan komposisi tubuh dan (2) penilaian intradialitik data online atau perbandingan data pra-posthemodialysis. Bila memungkinkan digunakan secara periodik bulanan atau lainnya sebagai sarana mengikuti berat kering dan menurunkan indeks adekuasi penarikan cairan. Telah dilakukan pengkajian mendalam tentang teknologi untuk menentukan status volume cairan pasien hemodialisis yang disesuaikan dengan keterbatasannya. Pengembangan teknik untuk menentukan indeks adekuasi UF sangat diperlukan. Teknik ini mencakup tinjauan periode inter dan intra dialitik. Sambil menunggu perkembangan teknologi, penggunaan spektroskop bioimpedansi adalah terbaik untuk menentukan status cairan interdialitik dan komposisi tubuh karena kemampuannya dalam menilai status nutrisi dan akan membuka gerbang akan penelitian perpindahan cairan antar kompartemen pada pasien dialisis.