BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Penyakit
Ginjal Kronis
Terdapat beberapa
istilah yang menunjukkan keadaan gangguan gagal ginjal yang sifatnya
kronis. Istilah gagal ginjal kronis
(GGK) atau chronic renal failure (CRF),
gagal ginjal terminal (GGT) atau end stage
renal desease (ESRD), dan yang sekarang baku dan umum adalah penyakit ginjal kronis atau chronic kidney desease (CKD).
1. Pengertian
Penyakit ginjal
kronis adalah kerusakan ginjal setidaknya selama tiga bulan atau lebih, yang
didefinisikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional ginjal, dengan
atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai
kelainan patologis atau kerusakan ginjal; termasuk ketidakseimbangan komposisi
zat di dalam darah atau urine serta ada tidaknya gangguan hasil pemeriksaan
pencitraan (Konsensus Dialisis, 2003).
Penyakit ginjal
kronis merupakan kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, kelainan struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG dengan presentasi: kelainan struktur
hispatologis ginjal, petanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah
dan urin atau uji pencitraan ginjal; LFG < 60 ml/mnt/1,73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal (Sukandar, 2006).
Penyakit ginjal
kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan faal ginjal lebih atau sama
dengan tiga bulan sebelum diagnosis ditegakkan (NKF-DOQI; 2002).
Adapun pengertian
dari gagal ginjal kronis adalah ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan
keseimbangan dan integritas tubuh yang muncul secara bertahap sebelum terjun ke
fase penurunan faal ginjal tahap akhir. Definisi lain menyebutkan bahwa gagal
ginjal kronis adalah penurunan semua faal ginjal secara bertahap diikuti
penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. (Nefrologi Klinik, 2006).
Gagal ginjal
kronis merupakan penurunan fungsi ginjal akibat berbagai penyakit ginjal kronis
yang berkembang secara progresif dan fungsi ginjal tidak bisa pulih kembali
(Prodjosudjadi, 2005).
2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis
Kasifikasi
penyakit ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju filtrasi
glomerulus (LFG) seperti digambarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Penyakit Ginjal Kronis
Stadium
|
Deskripsi
|
LFG
|
1
|
kerusakan
ginjal
|
>90
|
2
|
penurunan
fungsi ginjal ringan
|
60-89
|
3
|
penurunan
fungsi ginjal sedang
|
30-59
|
4
|
penurunan
fungsi ginjal berat
|
15-29
|
5
|
gagal ginjal
|
<15
|
Sumber: Nefrologi Klinik 2006
3. Penyebab Penyakit Ginjal Kronis
Terdapat pergeseran penyabab penyakit
ginjal kronis dari infeksi ke diabetes dan darah tinggi, penyebab yang erat
kaitannya dengan gaya hidup dan diet.
Diabetes dan darah tinggi grafiknya cenderung meningkat sedangkan
infeksi menurun. Berikut ini data
penyebab penyakit ginjal tahap akhir di mana terlihat tendensi peningkatan dan
penurunan pada penyebab-penyebab tertentu. Glomerulonefritis sebagai 60%
penyebab gagal ginjal kronis lebih banyak diderita pada kelompok usia 20-40
tahun dan pria
(Sukandar, 2005).
Tabel 2.2 Penyebab Penyakit Ginjal Tahap Akhir
Penyakit
Ginjal
|
1989
|
1996
|
2000
|
Glomerulonefritis
|
40,12%
|
46,39%
|
39,64%
|
Nefropati Obstruktif
|
36,07%
|
12,85%
|
13,44%
|
Nefropati Diabetik
|
6,13%
|
18,65%
|
17,54%
|
Nefropati Lupus
|
4,17%
|
0,16%
|
0,23%
|
Ginjal Polikistik
|
2,21%
|
1,41%
|
2,51%
|
Hipertensi
|
2,09%
|
8,46%
|
15,72%
|
Tidak diketahui
|
9,32%
|
15,20%
|
10,93%
|
Sumber: Nefrologi Klinik 2006
4. Patofisiologi
Pendekatan
hipotesis Bricker atau intac nephron
(hipotesis nefron utuh) berpendapat bahwa bila nefron terganggu maka seluruh
unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja
normal. Uremia akan terjadi bila jumlah
nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak
dapat dipertahankan lagi. Urutan
peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan dari segi
hipotesis nefron utuh. Meskipun penyakit
ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus dieksresi
oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati jumlah
nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara
progresif. Dua adaptasi penting
dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan
filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron
meskipun GFR untuk seluruh masa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di
bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi
ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% masa nefron
sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron
demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara
peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada
proses eksresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang.
|
|
Gambar
2.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Terminal
Sumber: modifikasi dari Fatofisiologi (Price, 2006)
Gambar
2.2 Hipertensi Dan Gangguan Fungsi Ginjal
Sumber: Prodjosudjadi, 2005
Gambar
2.3 Hipotesis Regulasi Tekanan Darah Pada Azotemia
Sumber: Nefrologi Klinik 2006
5. Tanda dan
Gejala Gagal Ginjal Terminal
1) Biokimia :
asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20 mEq/L), azotemia,
hiperkalemia, retensi atau pembuangan natrium, hipermagnesemia, hiperurisemia.
2) Genitourinaria
: poliuria, berlanjut menjadi oliguria, lalu anuria, nokturia pembalikan irama
diurnal, berat jenis urine tetap 1,010; proteinuria, silinder, hilangnya
libido, amenore, impotensi dan sterilitas.
3) Kardiovaskuler
: hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif, beban sirkulasi
berlebih, edema, gagal jantung kongestif, perikarditis (friction rub),
disritmia.
4) Pernapasan : kusmaul, dispnea, edema paru, pneumonitis.
5) Hematologik :
anemia, kelelahan, hemolisis, kecenderungan perdarahan, menurunnya resistensi
terhadap infeksi (infeksi saluran kemih, pneumonia, septikemia).
6) Kulit : pucat,
pigmentasi, perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada
garis-garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein), pruritus,
kristal uremik, kulit kering, memar.
7) Saluran cerna
: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, bau napas amoniak, rasa kecap
logam, mulut kering, stomatitis, parotitis, gastritis, enteritis, perdarahan
saluran cerna, diare.
8) Metabolisme intermedier :
a) Protein : intoleransi, sintesis abnormal
b) Karbohidrat : hiperglikemi, kebutuhan insulin menurun
c) Lemak : peningkatan trigliserida,
d) Mudah lelah
9) Neuromuskular :
a) Otot mengecil dan lemah
b) Sistem saraf
pusat : penurunan ketajaman mental, konsentrasi buruk, apati, letargi/gelisah,
insomnia, kekacauan mental, koma, otot berkedut, asteriksis, kejang
c) Neuropati
perifer : konduksi saraf lambat, sindrom restless
leg, perubahan sensorik pada ekstremitas, parastesi, perubahan motorik, foot drop yang berlanjut menjadi
paraplegia.
10) Gangguan
kalsium dan rangka : hiperfosfatemia, hipokasemia, hiperparatiroidisme
sekunder, osteodistrofi ginjal, fraktur patologik (demineralisasi tulang),
deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah,
jantung, paru), konjungtivitis (mata merah uremik).
6. Hipertensi Pada Gagal Ginjal
Kronis
Insidensi
hipertensi cukup tinggi, mencapai 70-80% dari populasi pasien gagal ginjal
kronis. Hipertensi merupakan faktor
resiko kardiovaskuler pasien hemodialisis.
1) Etiologi
Etiologi
hipertensi pada gagal ginjal kronis bersifat multifaktor, diperlukan
penanganan kombinasi. Etiologi hipertensi pada GGT:
a) Retensi garam dan air (volume
dependent hypertension)
b) Kenaikan konsentrasi angiotensin II (vasoconstrictor
hypertension)
c) Kenaikan rangsang saraf simpatis
d) Lain-lain
seperti endothelium derived
vasoconstrictor factor (EDVF, nitric
oxide (NO), dan potent endothelium
derived vasodilator
2) Mekanisme
patogenesis hipertensi pada gagal ginjal kronis terungkap sebagai berikut:
a) Ekspansi volume ekstra vaskuler
b) Aktivitas saraf simpatis
c) Terapi r-HuEPO
d) Prostaglandin/bradikinin
e) Perubahan fungsi EDF/NO (vasokonstriktor dan vasodilator)
f) Sekresi hormon paratiroid
g) Kalsifikasi cabang arteri
h) Perburukan hipertensi esensial
i) Penyakit vaskular ginjal.
Pengendalian
garam dan air dengan dialisis (ultra filtrasi) disertai pembatasan ketat asupan
garam dan air selama periode antar dialisis menyebabkan normotensi tercapai
lebih dari 50%. Ini menunjukkan lebih dari 50% hipertensi pasien gagal ginjal
kronis bersifat volume dependent dan
tidak memerlukan obat anti hipertensi.
3) Strategi
penanganan dan target penurunan tekanan darah
Setiap pasien
hemodialisis harus diketahui berat badan keringnya. Pada umumnya berat badan kering tercapai
setelah 6-8 minggu prosedur dialisis regular.
Bila hipertensi menetap setelah tercapai berat badan kering diperlukan
tindakan kolaboratif obat antihipertensi untuk mencegah dan mengurangi
morbiditas dan mortalitas.
Target penurunan
tekanan darah masih kontroversi dan sangat tergantung dari dasar uji klinik.
Rekomendasi Modification
of Diet in Renal Desease:
a) Target penurunan tekanan darah tanpa kerusakan organ lain 135/85 mmHg
b) Target
penurunan tekanan darah 120/75 mmHg bila disertai gagal jantung kongestif berat
atau sedang
c) Target penurunan
tekanan darah 125/75 mmHg bila disertai hipertrofi ventrikel kiri dan diabetes
d) Target penurunan tekanan darah 140/90 mmHg untuk usia lanjut.
7.
Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis
Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi dua tahap :
1) Tahap pertama
terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk memperlambat perburukan
progresif gangguan fungsi ginjal. Tindakan konservatif dimulai bila penderita
mengalami azotemia. Kita harus
menentukan penyebab utama gagal ginjal dan menyelidiki setiap faktor reversibel
seperti :
a) Penurunan
volume cairan ekstra sel yang disebabkan oleh penggunaan diuretik berlebihan
atau pembatasan garam yang terlalu ketat
b),Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran
prostat, atau fibrosis retro-peritoneal
c) Infeksi, terutama infeksi saluran kemih
d),Obat-obatan yang memperberat penyakit ginjal;
aminoglikosida, obat anti tumor, obat anti inflamasi non steroid, bahan
radiokontras.
e) Hipertensi berat atau maligna.
Faktor-faktor
tersebut menyebabkan perburukan fungsi ginjal mendadak pada penderita gagal
ginjal kronik. Penanganan faktor-faktor
ini dapat menstabilkan dan mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut. Penanganan konservatif meliputi :
a) Penentuan dan pengobatan faktor penyebab
b) Pengoptimalan dan rumatan keseimbangan garam dan air
c) Koreksi obstruksi saluran kemih
d) Deteksi awal dan pengobatan infeksi
e) Pengendalian hipertensi
f) Diet rendah protein dan tinggi kalori
g) Pengendalian keseimbangan elektrolit
h) Pencegahan dan pengobatan penyakit tulang ginjal
i) Modifikasi terafi obat dengan perubahan fungsi ginjal
j) Deteksi dan pengobatan komplikasi
2) Terafi pengganti ginjal
Merupakan
penanganan tahap kedua yang dimulai ketika tindakan konservatif tidak lagi
efektif dalam mempertahankan kehidupan.
Pada keadaan ini terjadi gagal ginjal terminal dan satu-satunya
penanganan adalah dengan terafi pengganti yaitu transplantasi ginjal dan
dialisis. Bentuk terapi pengganti ginjal ini meliputi :
a) Transplantasi ginjal
b) Peritoneal dialisis
c) Hemodialisis
B. Hemodialisis
1. Pengertian
Dialisis adalah
suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran
berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.
Hemodialisis dan peritoneal dialisis merupakan dua teknik utama yang digunakan
dalam dialisis dan prinsip dasar kedua teknik itu sama yaitu difusi zat
terlarut dan air dari plasma ke larutan dialisat sebagai respon terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. (Price, 2006)
Hemodialisis
adalah terafi pengganti ginjal buatan yang merupakan salah satu tindakan pada
manajemen pasien gagal ginjal akut (GGA), acute
on renal failure, intoksikasi obat atau bahan kimia (dialiyzable drugs), dan penyakit ginjal kronik tahap akhir atau
gagal ginjal terminal (GGT) serta persiapan transplantasi ginjal. Hanya sebagian kecil (20-30%) klien dengan gagal ginjal
terminal mendapat penanganan terapi pengganti ginjal (Sukandar, 2006).
Hemodialisis
adalah salah satu bentuk terapi pengganti ginjal di mana darah dilewatkan ke
ginjal buatan melalui selang khusus dan diatur oleh mesin khusus dan di dalam
ginjal buatan tersebut terjadi pemisahan zat sisa dan penarikan cairan berlebih
melalui mekanisme difusi dan konveksi.
2. Indikasi
Secara ideal,
semua pasien dengan LFG < 15 cc/menit dapat mulai menjalani dialisis. Namun
dalam pelaksanaan pedoman yang dapat dipakai adalah:
1) LFG < 10 cc/menit dengan gejala uremia/malnutrisi.
2) LFG < 5 cc/menit walaupun tanpa gejala
3) Indikasi khusus :
a) Terdapat
komplikasi akut (oedema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik).
b) ,Pada
pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.
c) ,Hemodialisis dapat mengeluarkan zat-zat toksin dari
darah. Pada keadaan keracunan obat atau zat toksin yang tidak terikat albumin
darah maka dialisis dapat dilakukan
dengan tujuan mengeluarkan zat toksin tersebut secara cepat.
3. Mekanisme
Terdapat dua
mekanisme dalam hemodialisis yaitu difusi dan konveksi. Kedua mekanisme ini terjadi di dalam dializer
(ginjal buatan) yang diatur dan dimonitor oleh mesin hemodialisis melalui
proses dialisis dan ultra filtrasi.
1) Dialisis
Dialisis adalah
proses transport zat terlarut melalui mekanisme difusi. Difusi adalah proses transport spontan dan
pasif dari zat terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat
(dan sebaliknya, misalnya backdifussion) melalui membran dializer seperti
terungkap pada gambar 2.2.
Kecepatan transport difusi
tergantung dari beberapa faktor :
a) Koefisien difusi zat terlarut
dalam darah, dialisat dan membran.
b) Luas permukaan membran.
c) Perbedaan konsentrasi zat terlarut yang melewati membran.
Awal Akhir
Gambar 2.3 Skema Representasi Mekanisme Difusi Zat
Terlarut
Sumber: Nefrologi Klinik (2006)
2) Ultra Filtrasi
Ultra filtrasi
adalah proses perpindahan zat dengan mekanisme konveksi. Dalam hemodialisis dikenal sebagai proses
penarikan cairan dari darah pasien.
Konveksi adalah proses transport simultan pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute)
dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan sebaliknya yaitu backfiltration) melalui membran dializer
seperti terungkap pada gambar 2.4.
Kecepatan transport konveksi tergantung dari beberapa faktor :
a) Permeabilitas hidrolik.
b),Sieving
coefficient dari zat terlarut (solute)
dan luas permukaan membran.
c) Konsentrasi
zat terlarut (solute) dalam darah dan
perbedaan tekanan (pressure gradient)
di antara membran.
Koefisien
permeabilitas hidrolik dan sieving
coefficient merupakan karakteristik dari membran dan tergantung dari
diameter pori membran serta jumlah pori per unit luas permukaan membran.
Pada saat ini
membran mempunyai permeabilitas tinggi disertai sieving coefficient yang menyerupai barrier glomerulus ginjal
alamiah. Sieving coefficient suatu zat terlarut (solute) adalah rasio
konsentrasi filtrat terhadap air plasma.
Efektivitas tekanan transmembran
adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik terutama ditentukan tekanan
onkotik protein darah yang tidak dapat melewati membran dialisis.
Untuk melakukan ultra filtrasi,
pasien hemodialisis dilakukan penimbangan berat badan sebelum dilakukan cuci
darah rutin. Berat badan yang didapat
dikurangi berat badan kering. Selisih
yang didapatkan ditambah perkiraan normal salin yang masuk (sekitar 200 cc) dan
makan-minum selama dialisis.
Berat badan kering adalah berat
badan yang dirasakan secara subjektif enak oleh pasien. Data objektif berat badan kering adalah tidak
adanya overhidrasi seperti oedema, peningkatan vena jugularis, ronchi dan pada
saat dilakukan penarikan cairan (ultra filtrasi) tidak terjadi hipotensi, kram,
muntah.
Awal
Akhir
Gambar 2.4 Skema Representasi Mekanisme Konveksi Air Dan
Transport Zat Terlarut (Solute Transport)
Sumber: Nefrologi Klinik (2006)
4. Peralatan Hemodialisis
Tindakan hemodialisis memerlukan peralatan khusus yang
meliputi mesin hemodialisis, dializer,
blood line, fistula needle. Peralatan ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan bisa
menyebabkan seseorang mengalami kenilangan pekerjaan sehingga menjadi masalah
psikososial klien yang menjalani hemodialisis rutin (Daurgidas, 2007). Peralatan ini terdiri dari:
1),Mesin hemodialisis adalah mesin khusus yang
dirancang untuk hemodialisis. Mesin ini
mengatur dialisat dengan sistem proporsional, memantau tekanan dan
konduktivitas dialisat dan darah, mengatur suhu, kecepatan aliran darah dan
dialisat. Terdapat beberapa sensor untuk
mendeteksi dan pencegahan resiko komplikasi, pompa darah untuk mengalirkan
darah dan syringe pump untuk pemberian
antikoagulan.
2) Dializer
disebut juga dengan ginjal buatan atau hollow
fiber adalah tabung yang berisi serabut berongga yang merupakan kompartemen
darah dan dialisat yang dipisahkan oleh membran. Di dalam dializer inilah
terjadi mekanisme difusi dan konveksi.
3) Blood line adalah selang-selang untuk
hemodialisis yang berfungsi untuk mengalirkan darah ke dan dari dializer. Terdiri dari dua untai yaitu arterial line
yang mengalirkan darah ke dializer dan venous line yang mengalirka darah dari
ginjal buatan ke tubuh.
4) Fistula needle adalah jarum yang
ditusukkan pada akses vaskular untuk mengalirkan darah ke ginjal buatan melalui
line blood. Terdapat dua buah jarum yaitu jarum inlet dan outlet.
5. Durasi Hemodialisis
Durasi
hemodialisis disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisis dilakukan 4-5 jam dengan
frekuensi 2 X/minggu. Frekuensi
hemodialisis dapat diberikan 3 X/minggu dengan durasi 4-5 jam. Idealnya 10-15 jam/minggu. Berdasarkan pengalaman selama ini, frekuensi
2 X/minggu telah menghasilkan nilai adekuasi yang mencukupi dan pasien merasa
lebih nyaman. Selain itu, dana asuransi
kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat menanggung hemodialisis
dengan frekuensi rata-rata 2X/minggu selama 4-5 jam dengan memperthatikan kebutuhan
individual.
6.
Akses Vaskular Hemodialisis
Akses vaskular
adalah titik-titik tempat penusukan fistula
needle untuk mengeluarkan dan memasukkan darah yang di-hemodialisis. Akses vaskular yang adekuat adalah akses
vaskular yang dapat memberikan aliran darah minimal 200-300 cc/menit. Akses tersebut memerlukan perawatan agar
bebas dari infeksi, stenosis, tromboembolik dan aneurisma. Terdapat dua jenis akses vaskular:
1) Akses vaskular permanen
Adalah akses yang dianjurkan dalam hemodialisis. Terdiri dari AV shunt/AV fistula/cimino dan
graft.
2) Akses vaskuler temporer
Adalah akses yang digunakan bila akses permanen belum
tersedia/bermasalah. Akses ini meliputi
akses vena femoralis, akses jugularis interna, dan akses vena subklavia.
7. Antikoagulasi
Selama
berlangsungnya hemodialisis, diperlukan antikoagulasi supaya tidak terjadi
pembekuan darah di dalam sirkulasi ekstrakorporeal. Terdapat tiga jenis dosis pemberian
antikoagulan yaitu standar, ketat dan tanpa heparin, hal ini disesuaikan dengan
keadaan pasien/status resiko perdarahan.
8. Adekuasi hemodialisis
Adekuasi
hemodialisis adalah kecukupan dialisis untuk menilai keberhasilan pelaksanan
hemodialisis. Secara ideal, pasien
kembali dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan mengalami peningkatan kualitas
hidup. Dalam hemodialisis adekuasi
dilihat dari formula Kt/V dan URR.
Kt/V adalah
penilaian keberhasilan cuci darah dengan melibatkan faktor-faktor kemampuan
dari ginjal buatan, lamanya cuci darah dan volume tubuh pasien. Angka idealnya 1,8 untuk cuci darah 2X/minggu
selama 4-5 jam tiap dialisis.
URR (ureum ratio rate) adalah rasio ureum
sebelum dan sesudah hemodialisis. Target
ideal URR adalah 65%.
9. Dampak Hemodialisis terhadap Tekanan Darah
Dampak yang
timbul dari proses hemodialisis adalah penurunan tekanan darah akibat penurunan
cairan tubuh oleh proses ultra filtrasi melalui mekanisme konveksi. Dengan ditariknya cairan tubuh melalui darah,
maka volume intravaskuler menurun. Hal
ini akan menurunkan jumlah darah yang memasuki atrium kanan. Sesuai hukum Starling, volume darah yang
masuk ke atrium kanan akan menekan dinding atrium kanan dan ini akan sama
dengan daya kontraksi ventrikel kiri dalam memompakan darah ke seluruh tubuh
yang disebut tekanan sistolik.
Dampak
peningkatan tekanan darah dapat terjadi pada pasien renin dependen. Dengan
penurunan cairan ekstra vaskular tubuh mengaktifkan renin yang akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin 1 yang diubah menjadi angiotensin 2 oleh
ACE yang merupakan vasokonstriktor kuat sehingga tekanan darah meningkat.
Riset yang dilakukan oleh Dasselar
(2007) pada jurnal hemodialisis internasional menunjukkan bahwa nilai tekanan
darah mengalami penurunan setelah dilakukan hemodialisis.
|
|
||||
Gambar
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah Dalam Hemodialisis
Sumber: modifikasi dari Nefrologi Klinik (2006), Handbook
of Dialysis (2007), Patofisiologi (2006)
Dari faktor-faktor di atas, faktor volume cairan tubuh berpengaruh paling
besar. Lebih dari 90% hipertensi
disebabkan oleh volume dependent (Price,
2006) dan Sukandar (2006) menyebutkan 50% volume cairan tubuh mempengaruhi
tekanan darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar