Jumat, 10 Agustus 2012

skripsi bab II


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronis
Terdapat beberapa istilah yang menunjukkan keadaan gangguan gagal ginjal yang sifatnya kronis.  Istilah gagal ginjal kronis (GGK) atau chronic renal failure (CRF), gagal ginjal terminal (GGT) atau end stage renal desease (ESRD), dan yang sekarang baku  dan umum adalah penyakit ginjal kronis atau chronic kidney desease (CKD).
1. Pengertian
Penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal setidaknya selama tiga bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal; termasuk ketidakseimbangan komposisi zat di dalam darah atau urine serta ada tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan (Konsensus Dialisis, 2003).
Penyakit ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG dengan presentasi: kelainan struktur hispatologis ginjal, petanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin atau uji pencitraan ginjal; LFG < 60 ml/mnt/1,73 m2  ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Sukandar, 2006).
Penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan faal ginjal lebih atau sama dengan tiga bulan sebelum diagnosis ditegakkan (NKF-DOQI; 2002).
Adapun pengertian dari gagal ginjal kronis adalah ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan keseimbangan dan integritas tubuh yang muncul secara bertahap sebelum terjun ke fase penurunan faal ginjal tahap akhir. Definisi lain menyebutkan bahwa gagal ginjal kronis adalah penurunan semua faal ginjal secara bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. (Nefrologi Klinik, 2006).
Gagal ginjal kronis merupakan penurunan fungsi ginjal akibat berbagai penyakit ginjal kronis yang berkembang secara progresif dan fungsi ginjal tidak bisa pulih kembali (Prodjosudjadi, 2005).
2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis
Kasifikasi penyakit ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) seperti digambarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Penyakit Ginjal Kronis

Stadium
Deskripsi
LFG
1
kerusakan ginjal
>90
2
penurunan fungsi ginjal ringan
60-89
3
penurunan fungsi ginjal sedang
30-59
4
penurunan fungsi ginjal berat
15-29
5
gagal ginjal
<15
Sumber: Nefrologi Klinik 2006

3.  Penyebab Penyakit  Ginjal Kronis
Terdapat pergeseran penyabab penyakit ginjal kronis dari infeksi ke diabetes dan darah tinggi, penyebab yang erat kaitannya dengan gaya hidup dan diet.  Diabetes dan darah tinggi grafiknya cenderung meningkat sedangkan infeksi menurun.  Berikut ini data penyebab penyakit ginjal tahap akhir di mana terlihat tendensi peningkatan dan penurunan pada penyebab-penyebab tertentu. Glomerulonefritis sebagai 60% penyebab gagal ginjal kronis lebih banyak diderita pada kelompok usia 20-40 tahun dan pria (Sukandar, 2005).
Tabel 2.2 Penyebab Penyakit Ginjal Tahap Akhir

Penyakit Ginjal
1989
1996
2000
Glomerulonefritis
40,12%
46,39%
39,64%
Nefropati Obstruktif
36,07%
12,85%
13,44%
Nefropati Diabetik
6,13%
18,65%
17,54%
Nefropati Lupus
4,17%
0,16%
0,23%
Ginjal Polikistik
2,21%
1,41%
2,51%
Hipertensi
2,09%
8,46%
15,72%
Tidak diketahui
9,32%
15,20%
10,93%
Sumber: Nefrologi Klinik 2006
4.  Patofisiologi
Pendekatan hipotesis Bricker atau intac nephron (hipotesis nefron utuh) berpendapat bahwa bila nefron terganggu maka seluruh unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal.  Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.  Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron utuh.  Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus dieksresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif.  Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.  Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal.  Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh masa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal.  Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah.  Namun akhirnya, kalau sekitar 75% masa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan.  Fleksibilitas baik pada proses eksresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang.






 













Kehilangan cairan tubuh
 
Poliuri
 
                                                                                             
 









Gambar 2.1  Patofisiologi Gagal Ginjal Terminal
Sumber: modifikasi dari Fatofisiologi (Price, 2006)



 







Gambar 2.2 Hipertensi Dan Gangguan Fungsi Ginjal
Sumber: Prodjosudjadi, 2005

 








Gambar 2.3 Hipotesis Regulasi Tekanan Darah Pada Azotemia
Sumber: Nefrologi Klinik 2006

5. Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Terminal
1) Biokimia : asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20 mEq/L), azotemia, hiperkalemia, retensi atau pembuangan natrium, hipermagnesemia, hiperurisemia.
2) Genitourinaria : poliuria, berlanjut menjadi oliguria, lalu anuria, nokturia pembalikan irama diurnal, berat jenis urine tetap 1,010; proteinuria, silinder, hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas.
3) Kardiovaskuler : hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif, beban sirkulasi berlebih, edema, gagal jantung kongestif, perikarditis (friction rub), disritmia. 
4) Pernapasan : kusmaul, dispnea, edema paru, pneumonitis.
5) Hematologik : anemia, kelelahan, hemolisis, kecenderungan perdarahan, menurunnya resistensi terhadap infeksi (infeksi saluran kemih, pneumonia, septikemia).
6) Kulit : pucat, pigmentasi, perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis-garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein), pruritus, kristal uremik, kulit kering, memar.
7) Saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, bau napas amoniak, rasa kecap logam, mulut kering, stomatitis, parotitis, gastritis, enteritis, perdarahan saluran cerna, diare.
8) Metabolisme intermedier :
a) Protein : intoleransi, sintesis abnormal
b) Karbohidrat : hiperglikemi, kebutuhan insulin menurun
c) Lemak : peningkatan trigliserida,
d) Mudah lelah
9) Neuromuskular :
a) Otot mengecil dan lemah
b) Sistem saraf pusat : penurunan ketajaman mental, konsentrasi buruk, apati, letargi/gelisah, insomnia, kekacauan mental, koma, otot berkedut, asteriksis, kejang
c) Neuropati perifer : konduksi saraf lambat, sindrom restless leg, perubahan sensorik pada ekstremitas, parastesi, perubahan motorik, foot drop yang berlanjut menjadi paraplegia.
10) Gangguan kalsium dan rangka : hiperfosfatemia, hipokasemia, hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi ginjal, fraktur patologik (demineralisasi tulang), deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru), konjungtivitis (mata merah uremik).
6. Hipertensi Pada Gagal Ginjal Kronis
Insidensi hipertensi cukup tinggi, mencapai 70-80% dari populasi pasien gagal ginjal kronis.  Hipertensi merupakan faktor resiko kardiovaskuler pasien hemodialisis.
1) Etiologi
Etiologi  hipertensi pada gagal ginjal kronis bersifat multifaktor, diperlukan penanganan kombinasi. Etiologi hipertensi pada GGT:
a) Retensi garam dan air (volume dependent hypertension)
b) Kenaikan konsentrasi angiotensin II (vasoconstrictor hypertension)
c) Kenaikan rangsang saraf simpatis
d) Lain-lain seperti endothelium derived vasoconstrictor factor (EDVF, nitric oxide (NO), dan potent endothelium derived vasodilator
2) Mekanisme patogenesis hipertensi pada gagal ginjal kronis terungkap sebagai berikut:
a) Ekspansi volume ekstra vaskuler
b) Aktivitas saraf simpatis
c) Terapi r-HuEPO
d) Prostaglandin/bradikinin
e) Perubahan fungsi EDF/NO (vasokonstriktor dan vasodilator)
f) Sekresi hormon paratiroid
g) Kalsifikasi cabang arteri
h) Perburukan hipertensi esensial
i) Penyakit vaskular ginjal.
Pengendalian garam dan air dengan dialisis (ultra filtrasi) disertai pembatasan ketat asupan garam dan air selama periode antar dialisis menyebabkan normotensi tercapai lebih dari 50%. Ini menunjukkan lebih dari 50% hipertensi pasien gagal ginjal kronis bersifat volume dependent dan tidak memerlukan obat anti hipertensi.
3) Strategi penanganan dan target penurunan tekanan darah
Setiap pasien hemodialisis harus diketahui berat badan keringnya.  Pada umumnya berat badan kering tercapai setelah 6-8 minggu prosedur dialisis regular.  Bila hipertensi menetap setelah tercapai berat badan kering diperlukan tindakan kolaboratif obat antihipertensi untuk mencegah dan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Target penurunan tekanan darah masih kontroversi dan sangat tergantung dari dasar uji klinik.
Rekomendasi Modification of Diet  in Renal Desease:
a) Target penurunan tekanan darah tanpa kerusakan organ lain 135/85 mmHg
b) Target penurunan tekanan darah 120/75 mmHg bila disertai gagal jantung kongestif berat atau sedang
c) Target penurunan tekanan darah 125/75 mmHg bila disertai hipertrofi ventrikel kiri dan diabetes
d) Target penurunan tekanan darah 140/90 mmHg untuk usia lanjut.
7. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis
Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi dua tahap :
1) Tahap pertama terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk memperlambat perburukan progresif  gangguan fungsi ginjal.  Tindakan konservatif dimulai bila penderita mengalami azotemia.  Kita harus menentukan penyebab utama gagal ginjal dan menyelidiki setiap faktor reversibel seperti :
a) Penurunan volume cairan ekstra sel yang disebabkan oleh penggunaan diuretik berlebihan atau pembatasan garam yang terlalu ketat
b),Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat, atau fibrosis retro-peritoneal
c) Infeksi, terutama infeksi saluran kemih
d),Obat-obatan yang memperberat penyakit ginjal; aminoglikosida, obat anti tumor, obat anti inflamasi non steroid, bahan radiokontras.
e) Hipertensi berat atau maligna.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan perburukan fungsi ginjal mendadak pada penderita gagal ginjal kronik.  Penanganan faktor-faktor ini dapat menstabilkan dan mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.  Penanganan konservatif meliputi :
a) Penentuan dan pengobatan faktor penyebab
b) Pengoptimalan dan rumatan keseimbangan garam dan air
c) Koreksi obstruksi saluran kemih
d) Deteksi awal dan pengobatan infeksi
e) Pengendalian hipertensi
f) Diet rendah protein dan tinggi kalori
g) Pengendalian keseimbangan elektrolit
h) Pencegahan dan pengobatan penyakit tulang ginjal
i) Modifikasi terafi obat dengan perubahan fungsi ginjal
j) Deteksi dan pengobatan komplikasi
2) Terafi pengganti ginjal
Merupakan penanganan tahap kedua yang dimulai ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan kehidupan.  Pada keadaan ini terjadi gagal ginjal terminal dan satu-satunya penanganan adalah dengan terafi pengganti yaitu transplantasi ginjal dan dialisis. Bentuk terapi pengganti ginjal ini meliputi :
a) Transplantasi ginjal
b) Peritoneal dialisis
c) Hemodialisis
B. Hemodialisis
1. Pengertian
Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan peritoneal dialisis merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialisis dan prinsip dasar kedua teknik itu sama yaitu difusi zat terlarut dan air dari plasma ke larutan dialisat sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. (Price, 2006)
Hemodialisis adalah terafi pengganti ginjal buatan yang merupakan salah satu tindakan pada manajemen pasien gagal ginjal akut (GGA), acute on renal failure, intoksikasi obat atau bahan kimia (dialiyzable drugs), dan penyakit ginjal kronik tahap akhir atau gagal ginjal terminal (GGT) serta persiapan transplantasi ginjal.  Hanya sebagian kecil (20-30%) klien dengan gagal ginjal terminal mendapat penanganan terapi pengganti ginjal (Sukandar, 2006).
   Hemodialisis adalah salah satu bentuk terapi pengganti ginjal di mana darah dilewatkan ke ginjal buatan melalui selang khusus dan diatur oleh mesin khusus dan di dalam ginjal buatan tersebut terjadi pemisahan zat sisa dan penarikan cairan berlebih melalui mekanisme difusi dan konveksi.
2.  Indikasi
Secara ideal, semua pasien dengan LFG < 15 cc/menit dapat mulai menjalani dialisis. Namun dalam pelaksanaan pedoman yang dapat dipakai adalah:
1) LFG < 10 cc/menit dengan gejala uremia/malnutrisi.
2) LFG < 5 cc/menit walaupun tanpa gejala
3) Indikasi khusus :
a) Terdapat komplikasi akut (oedema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik).
b)  ,Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal.
c) ,Hemodialisis dapat mengeluarkan zat-zat toksin dari darah. Pada keadaan keracunan obat atau zat toksin yang tidak terikat albumin darah maka dialisis dapat dilakukan  dengan tujuan mengeluarkan zat toksin tersebut secara cepat.


3.  Mekanisme
Terdapat dua mekanisme dalam hemodialisis yaitu difusi dan konveksi.  Kedua mekanisme ini terjadi di dalam dializer (ginjal buatan) yang diatur dan dimonitor oleh mesin hemodialisis melalui proses dialisis dan ultra filtrasi.
1) Dialisis
Dialisis adalah proses transport zat terlarut melalui mekanisme difusi.  Difusi adalah proses transport spontan dan pasif dari zat terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan sebaliknya, misalnya backdifussion) melalui membran dializer seperti terungkap pada gambar 2.2.
Kecepatan transport difusi tergantung dari beberapa faktor :
a) Koefisien difusi zat terlarut dalam darah, dialisat dan membran.
b) Luas permukaan membran.
c) Perbedaan konsentrasi zat terlarut yang melewati membran.
                          Awal                                                          Akhir                                           
Gambar 2.3 Skema Representasi Mekanisme Difusi Zat Terlarut
Sumber: Nefrologi Klinik (2006)

2) Ultra Filtrasi
Ultra filtrasi adalah proses perpindahan zat dengan mekanisme konveksi.  Dalam hemodialisis dikenal sebagai proses penarikan cairan dari darah pasien.  Konveksi adalah proses transport simultan pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute) dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat (dan sebaliknya yaitu backfiltration) melalui membran dializer seperti terungkap pada gambar 2.4.
Kecepatan transport konveksi tergantung dari beberapa faktor :
a) Permeabilitas hidrolik.
b),Sieving coefficient dari zat terlarut (solute) dan luas permukaan membran.
c) Konsentrasi zat terlarut (solute) dalam darah dan perbedaan tekanan (pressure gradient) di antara membran.
Koefisien permeabilitas hidrolik dan sieving coefficient merupakan karakteristik dari membran dan tergantung dari diameter pori membran serta jumlah pori per unit luas permukaan membran. 
Pada saat ini membran mempunyai permeabilitas tinggi disertai sieving coefficient yang menyerupai barrier glomerulus ginjal alamiah.  Sieving coefficient suatu zat terlarut (solute) adalah rasio konsentrasi filtrat terhadap air plasma.
Efektivitas tekanan transmembran adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik terutama ditentukan tekanan onkotik protein darah yang tidak dapat melewati membran dialisis.
Untuk melakukan ultra filtrasi, pasien hemodialisis dilakukan penimbangan berat badan sebelum dilakukan cuci darah rutin.  Berat badan yang didapat dikurangi berat badan kering.  Selisih yang didapatkan ditambah perkiraan normal salin yang masuk (sekitar 200 cc) dan makan-minum selama dialisis.
Berat badan kering adalah berat badan yang dirasakan secara subjektif enak oleh pasien.  Data objektif berat badan kering adalah tidak adanya overhidrasi seperti oedema, peningkatan vena jugularis, ronchi dan pada saat dilakukan penarikan cairan (ultra filtrasi) tidak terjadi hipotensi, kram, muntah.
                                    Awal                                                                Akhir
Gambar 2.4 Skema Representasi Mekanisme Konveksi Air Dan Transport Zat Terlarut (Solute Transport)
Sumber: Nefrologi Klinik (2006)

4. Peralatan Hemodialisis
Tindakan hemodialisis memerlukan peralatan khusus yang meliputi mesin hemodialisis, dializer, blood line, fistula needle.  Peralatan ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan bisa menyebabkan seseorang mengalami kenilangan pekerjaan sehingga menjadi masalah psikososial klien yang menjalani hemodialisis rutin (Daurgidas, 2007).  Peralatan ini terdiri dari:
1),Mesin hemodialisis adalah mesin khusus yang dirancang untuk hemodialisis.  Mesin ini mengatur dialisat dengan sistem proporsional, memantau tekanan dan konduktivitas dialisat dan darah, mengatur suhu, kecepatan aliran darah dan dialisat.  Terdapat beberapa sensor untuk mendeteksi dan pencegahan resiko komplikasi, pompa darah untuk mengalirkan darah dan syringe pump untuk pemberian antikoagulan. 
2) Dializer disebut juga dengan ginjal buatan atau hollow fiber adalah tabung yang berisi serabut berongga yang merupakan kompartemen darah dan dialisat yang dipisahkan oleh membran. Di dalam dializer inilah terjadi mekanisme difusi dan konveksi.
3) Blood line adalah selang-selang untuk hemodialisis yang berfungsi untuk mengalirkan darah ke dan dari dializer.  Terdiri dari dua untai yaitu arterial line yang mengalirkan darah ke dializer dan venous line yang mengalirka darah dari ginjal buatan ke tubuh.
4) Fistula needle adalah jarum yang ditusukkan pada akses vaskular untuk mengalirkan darah ke ginjal buatan melalui line blood.  Terdapat dua buah jarum yaitu jarum inlet dan outlet.
5. Durasi Hemodialisis
Durasi hemodialisis disesuaikan dengan kebutuhan individu.  Tiap hemodialisis dilakukan 4-5 jam dengan frekuensi 2 X/minggu.  Frekuensi hemodialisis dapat diberikan 3 X/minggu dengan durasi 4-5 jam.  Idealnya 10-15 jam/minggu.  Berdasarkan pengalaman selama ini, frekuensi 2 X/minggu telah menghasilkan nilai adekuasi yang mencukupi dan pasien merasa lebih nyaman.  Selain itu, dana asuransi kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat menanggung hemodialisis dengan frekuensi rata-rata 2X/minggu selama 4-5 jam dengan memperthatikan kebutuhan individual.
6.  Akses Vaskular Hemodialisis
Akses vaskular adalah titik-titik tempat penusukan fistula needle untuk mengeluarkan dan memasukkan darah yang di-hemodialisis.  Akses vaskular yang adekuat adalah akses vaskular yang dapat memberikan aliran darah minimal 200-300 cc/menit.  Akses tersebut memerlukan perawatan agar bebas dari infeksi, stenosis, tromboembolik dan aneurisma.  Terdapat dua jenis akses vaskular:
1) Akses vaskular permanen
Adalah akses yang dianjurkan dalam hemodialisis.  Terdiri dari AV shunt/AV fistula/cimino dan graft.
2) Akses vaskuler temporer
Adalah akses yang digunakan bila akses permanen belum tersedia/bermasalah.  Akses ini meliputi akses vena femoralis, akses jugularis interna, dan akses vena subklavia.
7. Antikoagulasi
Selama berlangsungnya hemodialisis, diperlukan antikoagulasi supaya tidak terjadi pembekuan darah di dalam sirkulasi ekstrakorporeal.  Terdapat tiga jenis dosis pemberian antikoagulan yaitu standar, ketat dan tanpa heparin, hal ini disesuaikan dengan keadaan pasien/status resiko perdarahan. 


8. Adekuasi hemodialisis
Adekuasi hemodialisis adalah kecukupan dialisis untuk menilai keberhasilan pelaksanan hemodialisis.  Secara ideal, pasien kembali dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan mengalami peningkatan kualitas hidup.  Dalam hemodialisis adekuasi dilihat dari formula Kt/V dan URR.
Kt/V adalah penilaian keberhasilan cuci darah dengan melibatkan faktor-faktor kemampuan dari ginjal buatan, lamanya cuci darah dan volume tubuh pasien.  Angka idealnya 1,8 untuk cuci darah 2X/minggu selama 4-5 jam tiap dialisis.
URR (ureum ratio rate) adalah rasio ureum sebelum dan sesudah hemodialisis.  Target ideal URR adalah 65%.
9. Dampak Hemodialisis terhadap Tekanan Darah
Dampak yang timbul dari proses hemodialisis adalah penurunan tekanan darah akibat penurunan cairan tubuh oleh proses ultra filtrasi melalui mekanisme konveksi.  Dengan ditariknya cairan tubuh melalui darah, maka volume intravaskuler menurun.  Hal ini akan menurunkan jumlah darah yang memasuki atrium kanan.  Sesuai hukum Starling, volume darah yang masuk ke atrium kanan akan menekan dinding atrium kanan dan ini akan sama dengan daya kontraksi ventrikel kiri dalam memompakan darah ke seluruh tubuh yang disebut tekanan sistolik. 
Dampak peningkatan tekanan darah dapat terjadi pada pasien renin dependen.  Dengan penurunan cairan ekstra vaskular tubuh mengaktifkan renin yang akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin 1 yang diubah menjadi angiotensin 2 oleh ACE yang merupakan vasokonstriktor kuat sehingga tekanan darah meningkat. 
Riset yang dilakukan oleh Dasselar (2007) pada jurnal hemodialisis internasional menunjukkan bahwa nilai tekanan darah mengalami penurunan setelah dilakukan hemodialisis.

  • Jumlah Cairan Tubuh
  • Aktivasi Renin
  • Stimulasi Saraf Simpatis
  • Usia
  • Obat Anti Hipertensi
  • Penyakit Penyerta
  • Jenis Dialisat
  • Kandungan Sodium Dialisat
  • Suhu Dialisat
 
C.   Kerangka Teori










Tekanan Darah
 


 









Gambar 2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah Dalam Hemodialisis
Sumber: modifikasi dari Nefrologi Klinik (2006), Handbook of Dialysis (2007), Patofisiologi (2006)

Dari faktor-faktor di atas, faktor volume cairan tubuh berpengaruh paling besar.  Lebih dari 90% hipertensi disebabkan oleh volume dependent (Price, 2006) dan Sukandar (2006) menyebutkan 50% volume cairan tubuh mempengaruhi tekanan darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar